Beberapa anak terlihat serius menyusun permainan lego seraya melepas senyum mereka yang khas, Selasa (31/3) pagi itu. Sebagian lagi menyimak penjelasan ibu guru di depan kelas dengan wajah serius. Di sudut sana, seorang anak terus berteriak. Ia tak mau ikut belajar.
Tiap anak sekolah ini punya satu meja dan satu kursi. Di meja mereka terserak beberapa mainan, seperti lego dan puzzle. Tak semua murid mau memainkannya. “Permainan ini bagus untuk melatih motorik anak,” kata Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Batam Dian Indriany.
Ruang belajar sekolah bercat kuning di Legenda Malaka, Batam Centre ini tak terlalu besar. Yang seukuran 4 x 5 meter misalnya, diisi delapan murid. Mereka anak berkebutuhan khusus yang digolongkan autis.
Menurut Dian, mengatasi anak berkebutuhan khusus, terutama autis, diperlukan berbagai trik. Seorang guru yang menanganinya harus tahu bagaimana menaklukan anak tersebut. “Rata-rata mereka hyperaktif. Kalau kena cakar, kena pukul itu saya sudah merasakan semua. Tapi kita harus punya trik mengatasinya,” kata jebolan IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) ini sambil tersenyum.
Anak autis punya kebutuhan berbeda-beda. Dian mengatakan, ada anak yang bisa dididik dengan lembut, ada juga yang membutuhkan ketegasan. Tegas bukan berarti galak. Apalagi marah-marah sampai membuat semangat anak didiknya patah.
Kepada guru-guru yang menangani anak autis, Dian selalu menekankan untuk selalu membangun kepercayaan diri sang anak asuh. Jika ada anak yang melakukan tindakan benar, seperti buang sampah pada tempatnya, pergi ke toilet jika ingin buang air, dan hal-hal positif lain sekalipun kecil, guru sebaiknya memberi reward untuk memotivisi.
“Cara ini bisa menaikkan kepercayaan diri dan mental mereka,” kata Dian.
Tantangan mengajar anak berkebutuhan khusus tak hanya datang dari anak bersangkutan, tapi juga orang tua. Tak sedikit orang tua yang cemas justru memantau putra-putrinya dengan sangat ketat saat proses belajar berlangsung. “Saya sering menekankan kepada orang tua untuk percaya kepada guru yang mengajar. Tidak perlu diintip-intip. Kalau memang ingin melihat putra-putrinya, langsung saja masuk ke dalam kelas,” tutur ibu dua anak ini.
Para orang tua yang kebanyakan ibu-ibu selalu sabar menunggui anaknya yang belajar di SLB Negeri Batam itu, mulai pukul 08.00 sampai 12.00. Mereka mengisi waktu lowong dengan duduk-duduk di bawah tangga atau lesehan di depan kelas.
Zuliana misalnya, perempuan 49 tahun ini, sejak pagi sudah datang mendampingi dua anaknya, Dani dan Zukri Ramadhan. Dani yang berumur 12 tahun merupakan anak berkebutuhan khusus yang digolongkan autis. Sementara Zukri yang 17 tahun, tuna rungu. Kakak-beradik ini sudah 3 tahun di SLB Negeri Batam.
Zuliana mengisahkan tentang Dani. Awalnya saat lahir Dani adalah anak yang normal. Hingga suatu hari pada usia 7 bulan, Dani bermain-main kaleng cat tanpa sepengetahuan orang tuanya. Tidak sengaja, kepala Dani kecil masuk ke dalam kaleng cat. “Waktu kejadian itu, Dani langsung dibawa ke rumah sakit. Kata dokter cairan cat yang masih tersisa masuk ke tubuh Dani. Semenjak itu dia jadi sulit berbicara dan suka mendadak ngamuk,” katanya.
Hingga kini Dani masih sulit menerima perintah atau ditanya-tanya secara verbal. Namun dia mau melakukan jika perintahnya ditulis di kertas. “Di rumah, saya biasa menyuruh dia beli minyak, gula atau belanja di warung dengan menuliskan perintahnya di kertas,” kata Zuliana.
Perempuan yang tinggal bersama suami dan 3 anaknya ini mengaku sangat terbantu dengan adanya sekolah gratis untuk anak-anaknya. Dulu, guru dari SLB ini yang datang ke rumahnya di Tiban untuk mendaftarkan anaknya sekolah di SLB.
“Hanya perlu fotokopi kartu keluarga saja waktu itu, semuanya gratis,” ungkapnya.
Dian Indriany, sang kepala sekolah mengatakan, saat ini semakin banyak calon siswa yang ingin bersekolah di SLB Negeri Batam. Sayangnya tidak semuanya bisa diterima. Fasilitas kelas masih kurang, demikian juga dengan jumlah guru. “Ada sekitar 200 anak yang dengan sangat terpaksa tidak kami terima,” ujarnya sedih.
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Batam sangat banyak. Angkanya tak sebanding dengan fasilitas gratis yang disediakan pemerintah untuk mendidik mereka. Sementara, seperti dituturkan Dian, 50 persen muridnya berasal dari Tanjungpiayu. Kawasan tersebut dituturkan Dian merupakan daerah dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
Situasi yang nyaris sama juga terjadi di Pusat Layanan Autis (PLA) yang bersebelahan dengan SLB Negeri Batam. Layanan terapi gratis bagi anak autis itu sedang menutup penerimaan anak. Jika di gedung sebelahnya kekurangan guru dan fasilitas, di PLA ini tenaga terapisnya yang tidak mendukung.
“Kami cuma punya tujuh terapis. Sementara setiap anak seharusnya ditangani oleh satu orang terapis secara face to face. Bayangkan berapa anak yang harus ditangani oleh mereka setiap hari,” kata Kepala PLA, Ilma.
PLA adalah layanan yang dibangun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan Pemerintah Kota Batam hanya memberikan fasilitas berupa bantuan kecil berbentuk kelengkapan ruangan seperti AC dan bantuan operasional.
“Namun kedepannya kita akan tetap mengusahakan penambahan tenaga terapis. Kami ingin pemerintah tahu kebutuhan ini. Saat ini sudah ada 104 anak yang waiting list untuk masuk ke sini,” ungkapnya.
Biasanya untuk bisa mendapatkan fasilitas terapi gratis di PLA, mantan staf di dinas pendidikan ini juga memberikan syarat kepada orang tua untuk membawa kartu miskin. Jika orang tuanya termasuk golongan berada, ia menyarankan untuk membawa anak tersebut ke layanan autis swasta.
“Kartu miskin itu untuk memudahkan proses penerimaan saja, karena kami memang benar-benar ingin memberikan bantuan kepada yang tidak mampu,” ungkapnya.
Pusat layanan gratis yang diresmikan 28 Februari 2014 ini memiliki dua kelas, yakni kelas individual dan kelas transisi. Kelas individual terdiri dari terapi wicara, terapi okupansi, sensori integrasi dan pendidikan luar biasa. Sedangkan kelas transisi merupakan kelas lanjutan bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa baca tulis dan berkomunikasi.
Autis, menurut lulusan psikologi ini, bukanlah aib. Autis bukanlah penyakit menular, masyarakat harus
menerima keberadaan mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi autis juga banyak, tidak saja karena faktor genetik, namun bisa juga karena proses kehamilan yang bermasalah, atau menjadi autis setelah lahir dan mengalami kejadian tertentu seperti koma, dan demam parah.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus, lanjut Ilma, di satu sisi memang merupakan tantangan yang perlu kesabaran ekstra untuk mendidiknya. Memasang kancing baju atau mengikat tali sepatu misalnya, anak-anak berkebutuhan khusus sering kesulitan. “Bahkan mengucapkan kata ‘minta’ atau ‘tolong’ saja perlu waktu dan proses yang panjang,” ujar Ilma pelan.
Situasi ini, menurut Ilma, seharusnya membuat orang dalam kondisi normal atau yang dilahirkan dengan sempurna lebih bersyukur. “Toh saat mereka diciptakan mereka tidak punya pilihan untuk menjadi autis atau sempurna,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. *
https://asrulrahmawati.wordpress.com/2015/04/16/menengok-anak-berkebutuhan-khusus-slb-negeri-batam/
Tags:
terapi